Cerita Sex Sebuah Penelitian - Karena profesiku sehari-hari memang bergerak di bidang jasa pengetikan komputer dan penyusunan karya ilmiah, termasuk bimbingan penyusunan karya ilmiah, maka tentu aku berusaha untuk tidak menolak tawaran itu, meskipun waktu penyelesaian yang diberikan hanya seminggu. Tanpa pikir panjang, aku langsung menerima tawarannya dengan biaya yang tertera dalam formulir pesanan yang telah kusediakan.
Setelah selesai mengisi formulir pesanan yang kusodorkan, lalu kuamati identitas dan judul yang ditulisnya dalam formulir itu. Aku berpikir bahwa judul tersebut termasuk agak berat ringan, namun bisa diakali atau spekulasi, sebab menyangkut problem yang banyak dibicarakan oleh masmedia dewasa ini. Redaksi judulnya adalah "Perselingkuhan dan Dampaknya terhadap Keharmonisan Rumah Tangga". Buku-buku yang membahas tentang perselingkuhan, masih sangat terbatas di kota tempat tinggal kami (sebut saja kota Wp) yakni salah satu kota kabupaten di Sulsel.
"Wah berat sekali judulnya ini, bisa nggak mencari buku-buku rujukannya," kataku setelah membaca isi formuliar pesanan yang telah ia isi itu.
"Nanti kuusahakan cari buku rujukannya kak," janjinya.
"Tapi judul ini nampaknya perlu juga penelitian lapangan dik, karena menyangkut problem rumah tangga yang nggak sulit ditemukan faktanya di daerah kita ini. Lagi pula saya yakin buku rujukannya sangat terbatas, sehingga perlu ditunjang dengan hasil wawancara atau angket," alasanku.
"Jadi bagaimana caranya kak? Apa aku harus wawancara dengan mereka yang selingkuh?" tanya Sri sambil ketawa seolah ia malu melaksanakannya.
Dan memang harus dimaklumi karena ia masih tergolong gadis pemalu. Sri merupakan sosok wanita yang sedikit kalem, sikap dan penampilannya cukup sederhana. Tubuhnya langsing dengan wajah berseri-seri.
"Apa adik nggak mampu melakukannya atau malu?" tanyaku singkat.
"Aku sangat malu kak, palagi bicara soal rumah tangga, tentang selingkuh lagi, khan nggak enak rasanya kak" katanya terus terang.
Setelah kupikir dan pertimbangkannya, aku lalu menawarkan jalan lain.
"Gimana kalau anda beri surat kuasa padaku, biar aku yang wawancara sama teman atau orang lain yang kuketahui selingkuh," tawaranku padanya.
"Wah, malah itu jalan yang terbaik kak. Buat aja surat kuasanya kak, nanti kutandatangani. Soal biaya yang kakak keluarkan sehubungan dengan penelitian ini, aku siap tanggulangi semuanya asal bukan saya yang disuruh melakukannya," katanya seolah gembira sekali menyambutnya.
"Tapi terus terang aja dik, mungkin aku hanya minta kepada mereka agar bersedia menandatangani surat keterangan penelitiannya. Soal kejadian dan dampaknya, biar aku yang rekayasa kalimatnya," jelasku pada Sri.
"Nggak masalah kak. Yang penting karya ilmiahku bisa selesai dan ditandatangani oleh pembimbing serta aku bisa ikut ujian meja bersama teman-teman dalam waktu dekat ini," katanya pasrah padaku.
Saat itu pula aku langsung ketik suarat kuasanya lalu ditandatangani oleh Sri, kemudian ia minta izin pulang setelah aku mencatat Nomor telepon rumahnya. Setelah lima hari kemudian, aku sudah menyusun dengan matang konsep yang akan aku jalankan lebih lanjut. Aku hubungi dan minta agar Sri datang ke rumah pada pukul 19.00 wita guna membicarakan soal penyelesaian karya ilmiahnya. Sementara aku makan malam bersama keluarga, terdengarlah ada orang yang mengetuk pintu. Aku yakin itu pasti Sri. Istriku segera keluar membukakan pintu, ternyata betul Sri datang sebelum jam 19.00 wita. Mungkin ia anggap panggilanku itu sangat penting, apalagi menyangkut soal penyelesaian karya ilmiahnya.
"Silahkan duduk dik," kata istriku setelah Sri masuk.
"Langsung aja gabung di sini dik, kita makan sama-sama," teriakku dari dalam ruang makan.
Istriku tidak pernah curiga dan cemburu terhadap setiap wanita yang datang kerumah, karena tujuannya sangat jelas.
"Terima kasih kak. Teruskan aja makannya. Aku baru aja makan di rumah," teriak Sri dari luar setelah ia duduk di kursi tamu yang tersedia.
"Begini Sri, aku sengaja memanggilmu ke sini untuk membicarakan soal kesimpulan penelitian yang akan saya muat dalam karya ilmiah anda. Aku takut kerja dua kali. Jadi sebelum aku muat, aku mau minta tanggapan dan keputusanmu dulu," jelasku ketika aku selesai makan dan duduk berhadapan dengan Sri.
Sementara istriku masih sementara makan bersama dengan dua orang putraku. Kupikir mereka masih lama di ruang makan, sebab ia pasti meneruskannya dengan cuci piring, bikin air panas buat aku dan Sri. Masih banyak kesempatan yang bisa kami gunakan untuk bicara secara bebas tanpa mengundang kecurigaan dari istriku.
"Atur sajalah kak mana baiknya. Aku serahkan penuh keputusannya semua pada kak, karena kakaklah yang lebih tahu mengenai hal ini semua," katanya pasrah, meskipun ia belum tahu niat dan spekulasiku memanggilnya.
"Sri, terus terang dik.. Ada sesuatu yang akan saya tawarkan padamu, tapi aku malu dan takut kamu tersinggung dan marah padaku," kataku pada Sri dengan suara sedikit pelan karena takut kedengaran istri.
"Katakan saja kak, aku nggak akan tersinggung kok, apalagi marah. Itu bukan watakku. Lagi pula kenapa mesti marah jika memang itu adalah kepentingan penyusunan karya ilmiahku. Aku siap bantu kak sepanjang aku mampu," kata Sri tanpa ragu dan berpikir curiga atas maksudku.
Meskipun penuh keraguan, bahkan bisa beresiko buruk jika Sri tidak setuju, namun tetap aku beranikan diri menyampaikan niat bejatku.
"Bbbegini dik Sri, maaf sekali lagi. Penelitian kita tidak boleh semua rekayasa dan mesti ada sedikit data pembuktian. Sementara aku sangat kesulitan mendapatkan bukti otentik, karena jarang sekali pria mau mengakui perselingkuhannya dan juga sulit ditemukan istri yang mau mengungkapkan secara jujur akibat yang dirasakannya dari perselingkuhan suaminya," paparku menjelaskan alasanku pada Sri.
Setelah terdiam, tunduk dan berpikir sejenak, maka Sri pun bertanya.
"Jadi kira-kira bagaimana baiknya kak agar kesulitan kak bisa teratasi"
"Rela nggak berkorban demi penyelesaian karya ilmiahnya dik?" tanyaku.
"Sepanjang aku mampu, tentu saja aku akan usahakan kak. Khan sudah berulang-ulang kali kukatakan pada kak," katanya sedikit tegas, namun entah apa ia tahu apa yang akan kuminta darinya atau sama sekali tidak terpikir olehnya.
Tapi nampaknya ia tidak ragu-ragu mengatakannya.
"Betul? Janji?" tanyaku tegas sambil mengulurkan tangan untuk salaman dengannya sebagai tanda perjanjian kami. Sri pun menyambut tanganku.
"Mumpung istriku masih di dalam Sri, kita bisa atur strateginya saat ini juga, sebab tawaranku ini sangat rahasia dan hanya kita berdua yang bisa ketahui," kataku sangat pelan dan hanya bisa didengar oleh Sri.
Setelah terdiam, tunduk dan berpikir sejenak, maka Sri pun bertanya.
"Jadi gimana caranya kak? Rahasia bagaimana yang kak maksudkan. Katakan aja sekarang agar aku tidak penasaran untuk mendengarnya," desaknya.
"Aku akan menulis pertanyaan rahasia itu di komputer dan kamu menjawab langsung dengan kata 'ya' jika setuju dan 'tidak' jika tidak setuju ketika aku bertanya padamu begini?."
"Kamu harus pura-pura membacakan isi sebuah buku tentang kehidupan rumah tangga yang harmonis, sebab kebetulan judul buku itu ada di sini dan aku seolah-olah menulis apa yang kamu bacakan, meskipun sebenarnya yang kutulis di komputer nanti adalah sejumlah pertanyaan yang harus kamu jawab 'ya' atau 'tidak'" jelasku pada Sri meskipun ia tidak segera memahami maksudku, namun setelah aku menjelaskannya beberapa kali, akhirnya iapun mengerti.
Setelah kami sepakat untuk melakonkan sandiwara itu di depan komputer, kamipun saling terdiam tanpa saling memandang. Namun sikap kami itu tidak berlangsung lama sebab istriku tiba-tiba muncul membawa 2 cangkir air teh buat kami. Istriku tidak nampak ada rasa curiga pada kami, malah dia bercanda karena ia tidak sempat bikin kue buat Sri.
"Silahkan diminum dik, kebetulan nggak ada tulangnya nih," canda istriku.
"Terima kasih bu', aku merepotkan aja," kata Sri pada istriku.
"Silahkan diminum dulu dik, atau kita bawa aja masuk di kamar komputer sambil anda membacakan datanya biar proses penyusunannya agak cepat," kataku dengan suara yang sedikit besar agar didengar langsung oleh istriku yang sedang duduk di sampingku sambil aku berdiri membawa secangkir teh masuk ke kamar kerjaku dan disusul pula oleh Sri setelah minta izin sama istriku, bahkan istriku sendiri yang membawakan tehnya dan meletakkannya di atas meja komputer lalu minta izin pada kami untuk nonton acara TV Sinetron kesukaannya yakni Kehormatan di ruang dalam.
"Silahkan dibaca dik," kataku sengaja memperdengarkan istriku yang sedang berbaring di depan TV.
Sementara Sri duduk di kursi yang telah kusiapkan kurang lebih 50 cm di samping kananku dan aku sendiri duduk persis di depan layar komputer. Sri membaca isi buku yang dipegangnya kata demi kata layaknya orang yang mendiktekan, namun aku tidak menulis apa yang dibaca, melainkan aku mulai buat pertanyaan buat Sri.
"Begini tulisannya?" kataku seolah menulis apa yang dibaca itu, namun aku menuliskan pertanyaan bahwa "Apa anda siap duduk di situ hingga jam 10 malam?" tulisku di layar komputer.
"Ya," jawab Sri di sela-sela kalimat yang dibacanya.
"Begini?" tanyaku lagi sambil menulis pertanyaanku, "Anda bisa maju dan bergeser ke arahku agak lebih dekat lagi?"
"Ya," jawab Sri lagi sambil menggeser kursinya agak lebih dekat lagi.
Meskipun yang kedengaran dari mulutku hanya kata "begini", namun pertanyaan yang kuajukan ke Sri lewat layat komputer banyak sekali. Hampir semua pertanyaanku dijawab dengan kata "ya" oleh Sri, termasuk pertanyaanku tentang apa Sri sudah punya pacar, pernah jatuh cinta, pernah dirasakan belaian pria, pernah dipegang tangannya, rambutnya, wajahnya, pahanya, payudaranya oleh pacarnya. Bahkan Sri juga mengiyakan pertanyaanku soal cium mencium dengan pacarnya.
Namun ketika pertanyaanku mengarah lebih dalam lagi, terutama soal pernah tidur bersama dan bersetubuh dengan pacarnya, maka tiba-tiba ia jawab dengan kata tegas "Tidak". Komunikasi kami berjalan lancar meskipun yang kedengaran keluar dari mulutku hanya kata "begini atau begini tulisanya?", lalu dijawab oleh Sri dengan kata "ya atau tidak" hingga waktu tidak dirasa sudah menunjukkan pukul 9.30 malam.
Bersambung :