Jam 20.30 wib, saat yang pas untuk menyelesaikan acara makan malam ini. Pada Ramon aku berikan kunci kamar 534. Aku ceritakan mengenai "connecting door"-nya itu. Dia langsung beranjak menuju ke kamarnya. Aku jalan sama istriku ke kamar 535.
Rupanya istriku ingin mendapatkan kepastian dariku. Di dalam lift, kebetulan nggak ada orang lain, dia melakukan cek & recek, bahwa aku benar-benar mendukung ide ini. Apa lagi dia tetap memberikan kesempatan padaku untuk mengawasi apapun yang nanti berlangsung. Untuk itulah perlunya ada 2 kamar.
Dia bilang akan kagok apabila aku langsung berada sekamar saat dia bersama Ramon tidur bersama. Tetapi dari kamar lain "silahkan buka sedikit", agar aku bisa mengawasinya selama Ramon berada sekamar dengannya. Walaupun dia sampaikan tidak beruntun, karena birahinya sudah mulai mengganggu konsentrasinya, dia sampaikan idea dan pemikiran logis yang telah dia pertimbangkan itu.
Saat kami memasuki kamar, aku langsung membuka "connecting door"-nya, dan kami ber-tiga kembali berkumpul. Kami cairkan suasana lebih dahulu. Kami ngobrol dulu sesaat. Ahh.. Yang rupanya Ramon sangat profesional dan menguasai medannya, dia mulai memanaskan suasana. Tanpa canggung, dia mendekat dan duduk nempel istriku di pinggiran tempat tidur.
Dia raih tangan istriku dan mengelusinya, sambil cerita bab lain, misalnya masalah Pemilu tahun 2004 dan Siapa Presiden yang tepat untuk Indonesia ini? Sehingga kami semua jadi terpancing memberikan respon. Dan istriku mendapatkan jalannya untuk bersikap lebih wajar, tanpa perlu serta merta menarik tangannya, karena kagok atau malu padaku. Dan aku sendiri berlagak acuh, walaupun adikku di belakang celanaku ini mulai memberontak dan mendesak-desak.
Tahu kalau istriku membiarkan tangannya membelai, Ramon bergerak maju lagi. Dia mempepetkan lagi duduknya, meraih pinggang dan menempelkan hidungnya ke pundak Surti. Dari rona wajahnya yang me-merah aku rasa Surti mulai menggelinjang. Ini adalah lelaki pertama yang bukan suaminya yang telah menyentuhinya. Apalagi Ramon ini sangat tampan. Belum lagi informasinya tentang ukuran alat vitalnya yang selama ini selalu terungkap penuh rindu dalam desahan-desahan birahinya.
Terus terang aku hampir tak mampu menahan rasa cemburu yang luar biasa yang sebelumnya aku pikir akan mudah kuatasi. Tetapi saat melihat langsung di depanku bagaimana lelaki itu memeluki Surti dan sebaliknya istriku ini nampak memberikan respon aktif, hatiku panas serasa terpanggang di atas bara. Jantungku berdegup kencang. Bukannya aku menyalahkan mereka semata, tetapi lebih kepada sikap pecundangku. Lelaki macam apa aku ini?!
Anehnya, di sisi lain aku menikmati rasa cemburu sebagai perangsang sensasi syahwatku. Penisku ngaceng menerima siksaan cemburu luar biasa yang menyala-nyala dan membakar diriku.
Kulihat rona wajah istriku semakin me-merah. Dia memandangku sejenak. Seakan memerlukan kepastian dariku. Aku acungkan jempolku yang gemetar menahan cemburuku sebagai kode dukunganku pada mereka. Kemudian dia mulai dengan tanpa canggung untuk menaruk pundaknya di dada Ramon.
Duuhh.. Ampuunn.. Sepertinya mataku kena 'vertigo'. Topik omongan soal calon Presiden jadi semakin kabur dan kehilangan konteks. Dan aku sendiri sudah harus ancang-ancang untuk 'lengser' ke kamar sebelah.
Dan saat tak ada lagi keraguan dan kecanggungan di antara keduanya, dan saat perkembangan di lapangan demikian maju yang ditandai dengan bibir ketemu bibir antara Ramon dengan istriku, aku langsung berdiri dengan limbung.
Kusaksikan bibir mungil Surti istriku menjemput bibir lelaki lain yang bukan suaminya itu. Bibir mungil Surti mengatup menggigit kecil bibir Ramon. Dan Ramon me-respon dengan penuh nafsu yang memang sejak jumpa pada awalnya tadi aku sudah perhatikan bahwa Ramon ini sangat terpesona akan kecantikan seksual istriku. Mereka semua akhirnya tanpa canggung melakukan itu di hadapanku. Aku berusaha cari pegangan untuk meneguhkan hati. Bukankah itu gagasanku sendiri, dan juga karena aku yang mendorongnya, mengatur dan membolehkannya. Dasar pecundang, uuhh.. Sakitnyaa..
Nampak di mataku dinding-dinding kamar bergoyang. Aku berjingkat menuju ke kamar 534 sebagai seorang suami yang kalah dan membiarkan istrinya digauli lelaki lain. Selanjutnya keadaan menjadi hening.
Tak ada suara-suara kecuali pukulan jantung pada dadaku. Yang kemudian kudengar ialah bunyi halus gesekan lembut dari gerakan Ramon dan istriku. Mungkin mereka rebah bergulir dan berguling ke kasur. Kupingku juga menangkap bunyi samar-samar kecupan bibir-bibir mereka. Aku berpegangan pada dinding..
Sebagaimana yang direncanakan, aku berkesempatan menyaksikan Ramon menggauli Surti istriku melalui 'connecting door' ini. Dengan mematikan seluruh cahaya yang ada di kamarku, aku leluasa menyaksikan Ramon dan istriku tanpa mengganggu keasyikan mereka. Yang nampak hanyalah celah pintu yang gelap.
Kulihat Ramon turun sebentar, sepertinya atas permintaan istriku, untuk mematikan lampu besar, sehingga yang ada adalah cahaya remang-remang yang datangnya dari arah kamar mandi. Akibatnya suasana menjadi lebih romantis dan dramatis tanpa mengurangi kejelasan pandanganku pada mereka berdua.
Derita yang Nikmat
Sebelum kembali berguling ke kasur, Surti maupun Ramon saling melepasi busana pasangannya hingga setengah bugil. Kulihat jari-jari lentik Surti berani dan tanpa ragu meraih ikat pinggang Ramon untuk melepasinya. Tangannya menarik resleiting celana dan me-melorotkannya hingga jatuh ke lantai. Aku sungguh heran, karena ulah itu tak pernah dia lakukan saat bercumbu denganku.
Sementara itu Ramon juga melepasi kancing-kancing blus istriku kemudian rok bawahnya. Kini yang tinggal hanyalah pakaian dalam mereka. Istriku Surti nampak amat sensual. Aku jadi terheran, tubuhnya yang sangat indah dengan wajahnya yang merona karena mengandung gejolak syahwat membuat dia menjadi ratusan kali lebih cantik dari biasanya. Aku tak pernah melihat gairahnya yang macam itu selama ini.
Dengan CD dan BH Armani-nya yang putih membuat si cantik ini menjadi Diva. Sepertinya aku menyaksikan dewi Banowati yang sedang turun dari peraduannya untuk menyongsong satria impiannya Arjuna. Rasa-rasanya untuk semua ini, Surti benar-benar menyiapkan diri tanpa setahuku. Bukan kebetulan kalau hidungku sempat sepintas menangkap semerbak bau Channel no.5 yang mahal banget itu yang akan dengan cepat bisa merangsang nafsu seksual lelaki manapun.
Menyaksikan semua yang berlangsung di depan mataku itu cemburuku menggelegak menyertai dan membakar sanubariku. Darahku langsung panas dan naik meloncat ke-ubun-ubun. Mataku nanar menyaksikan sebuah sensasi perselingkuhan isteriku dengan lelaki lain yang justru aku sendiri yang merancang dan menyiapkannya. Jantungku memukul-mukul dadaku seakan hendak berontak meledak. Tetapi kesadaranku secepatnya berusaha melerai. Bukankah ini juga keinginanmu? Keinginan syahwatmu? Kenapa mesti cemburu? Nikmatilah! Saksikan hal-hal yang akan terjadi di depan matamu kini dan nikmatilah.
Sementara itu sang Arjuna Ramon tampil seperti lelaki yang anggun. Wajah Semit-nya masih tergurat dari hidung dan kumisnya yang lembut itu. Dadanya yang penuh bulu lembut rasanya nikmat untuk jadi sasaran jilatan dan gigitan Surti. Bulu-bulunya itu berkesinambungan turun hingga tepian CD Charles Jourdan-nya yang kemudian lanjut pada kedua tungkai kakinya. Dan pasti bulu-bulu itu melebat di selangkangan dan seputar kemaluannya. Nampak penisnya membuat guratan besar melintang di Charles Jourdannya dengan alur ke-arah kanan sepertinya bungkusan pisang tanduk dari Bogor.
Penisku langsung ngaceng banget seperti dongkrak membayangkan apa yang selanjutnya akan terjadi.
Sejenak mereka saling memandang. Dari raut wajahnya nampak sekali mereka saling mengagumi dan terpesona. Kemudian dengan senyuman-senyuman yang penuh syahwat mereka saling berangkulan. Bermenit-menit mereka berpagut, saling memainkan bibir dan lidah dan sedot-menyedot sebelum akhirnya kembali berguling ke kasur.
Sebagai pelayan jasa Ramon menunjukan servicenya yang prima. Dengan kelembutan yang dahsyat, dia meneruskan pagutan bibirnya, Tangan kirinya memeluki tubuh Surti dan tangan kanannya mulai bergerilya mengelusi, meremas, mencubit kecil dan mencakar secara lunak bagian-bagian peka istriku yang berada di bahu, ketiak, buah dada berikut puting susunya. Istriku langsung terbang ke-awang-awang.
Matanya setengah tertutup membeliak ke atas menyisakan bagian putihnya. Desahan nafas, erangan dan rintihan halusnya mulai terdengar sangat erotis. Di tempatku, tetap dengan kobaran iri dan cemburu yang luar biasa aku blingsatan mengelusi tonjolan kemaluanku dalam celanaku. Aku juga mendesah pelan menahan gejolak darah syahwatku yang menyala-nyala dalam sakit dan cemburu itu.
Ketika tangan-tangan berbulu Ramon terus mengelusi perutnya, bahkan kemudian turun untuk mengelusi CD Armani, terdengar lenguh panjang,
"Aahh.. Yaacchh..", dari bibir istriku. Rasanya Surti sudah mulai memasuki keadaan "trance".
Sementara dengan ketat tangannya mempererat pelukannya pada tubuh pria anggun Ramon itu, pagutan panas bibirnya tak henti-hentinya ber-kecipak dalam lumatan-lumatan berkesinambungan. Dia ber-gelinjang dan menggeliat-geliat-kan pinggulnya menahan derita nikmatnya.
Ramon melepaskan ciumannya dan menggiring lidah serta bibirnya turun ke leher, kemudian ke dada. Dengan hidungnya yang mancung itu dia dorong tepian BH Armani istriku hingga buah dadanya yang bak bukit surgawi itu menyembul ranum membawa pesonanya. Bibirnya langsung mengisapi lingkaran pentil-pentilnya. Tentu saja tanpa tertahankan lagi Surti kontan mengaduh kecil dan menggeliat-geliatkan dadanya.
Melihat reaksi yang demikian dari Surti, Ramon semakin bernafsu dan meningkatkan serangannya. Jari-jari tangannya merambati celah CD Surti dan menyusup merabai bibir kemaluan istriku itu. Antara mengelus, memelintir dan menusuk-nusuk halus, jari-jari yang relatip cukup gede dan panjang itu benar-benar memberikan kenikmatan tak bertara kepada istriku.
Aku ikut gelagapan, sesak nafasku menyaksikan reaksi istriku..
Serangan Ramon berlanjut dengan ciuman dan gigitan kecil di permukaan perut Surti. Secara spontan istriku ini meraih rambut Ramon dan meremasi dengan penuh gereget birahi. Desahannya makin panjang dan nyaring. Rasanya dia tak lagi mempertimbangkan aku sebagai suaminya yang juga berada di dekatnya.
Dalam gelegak penuh iri dan cemburu ini justru rasa kenikmatanku hadir melihat apa yang aku saksikan kini. Kemaluanku sangat membengkak. Pasti "precum"ku sudah membanjir pula. Aku menikmati secara seksual "rasa takluk" pada lelaki macam Ramon ini. "Rasa takluk" itu merambati dan menelikung diriku untuk bertekuk lutut pada keperkasaannya yang bisa membuat istriku tunduk mengikuti gejolak nafsunya. Rasanya "rasa takluk" macam itu bisa membuat aku "rela" di rendahkan ataupun di hinakan.
Diinjak kepalakupun aku "rela". Dan "rela"-ku itu merupakan bentuk nikmat nafsu birahi yang merambati aku saat ini. Ciuman Ramon turun lagi. Rambut kemaluan istriku yang sudah mulai tersentuhya dia jilati dan isap satu-satu. Remasan tangan istriku semakin keras dan menyakitkan kepala Ramon. Dia menyeringai tetapi tidak mengendorkan serangannya.
Akhirnya bibir Ramon mulai menggarap bibir vagina Surti. Kali ini tak terbendung lagi. Surti melonjak-lonjakkan pantatnya, melepaskan tangannya untuk berpindah menariki dan meremasi sprei hotel hingga tempat tidur itu menjadi awut-awutan. Teriakkan histeris erotiknya tak lagi terkendali. Suara gaduh memenuhi kamar bintang 4 yang kedap suara itu.
Aku juga ikut gaduh dalam emosiku. Keringatku mulai mengucur kepanasan walaupun berada dalam ruang AC yang dingin. Aku ikut kelimpungan sambil terus melotot mengamati si Ramon terus meningkatkan jilatan dan lumatannya.
Aku jadi sadar.. Aku menyadari apa yang Ramon lakukan itu tak pernah aku berikan pada istriku. Aku bisa mengerti apabila reaksi dan akibatnya menjadi demikian erotis sensasional baginya.
Ah.. Betapa aku egois, kurang tanggap dan tak mau melakukan inovasi. Dan akhirnya pengalaman nikmat tinggi macam itu justru didapatkan dari orang lain.
Bersambung :