Dia berhenti sebentar, tetapi segera mulai memutar dan mengocokkan pinggulnya lagi. Aku sudah benar-benar hampir keluar, maka kugigit lidahku, kualihkan rasa nikmatku kerasa sakit yang menyerang lidahku. Ternyata dengan cara ini aku dapat menahan pancaran spermaku. Mbak Dwi makin menggelora, dia merintih-rintih, kadang kupingku digigitnya, kadang leherku, dan juga jari tangannya mencakari punggungku.
"Dik Ton, aku nikmat sekali.., oohh.., apa kamu juga enak..?"
"Iya Mbak.." balasku.
"Sebelah mana..? Mbak sudah senut-senut sampai tulang punggung, mungkin Mbak sudah nggak bisa lama lagi. Aduh.., sshh.., nikmat sekali, Mbak belum pernah seperti ini. Kontolmu besar dan nikmat sekali..!"
Mbak Dwi berbicara sendiri, aku tidak yakin apakah dia sadar atau tidak, tetapi itu membuatku makin terangsang. Aku ikut mengocok dari bawah, pangkal kelamin kami yang becek oleh lendir beradu makin sering, sehingga menimbulkan bunyi ceprok.., ceprok.., ceprok.
Batangku sudah berdenyut kenikmatan, sedang kepala penis kurasakan makin membesar dan siap memuntahkan lahar. Ketika Mbak Dwi merintih makin keras, dan ketika jarinya mencengkeram pundakku kencang sekali, instingku mengatakan bahwa Mbak Dwi akan selesai. Maka kuangkat pinggukku, kutekan kemaluanku jauh ke dalam dasar vaginanya, kuputar pinggulku sehingga rambut kemaluan kami terasa menjadi satu. Pada saat itulah ledakan terjadi.
"Dik Ton.., eekh.., eekh.., eekh.., eekh..!"
Lubang dalam vaginanya berkedut-kedut, sementara ototnya menjepit batangku. Mbak Dwi melepas orgasmenya, dan pada saat itu pula lah maniku menyembur deras ke diding rahimnya, banyak sekali. Kami telah selesai, tubuhku lemas dan kami istirahat serta pura-pura tidur berjauhan ketika penumpang lain mulai masuk mobil.
*****
Sejak kejadian itu, aku sering melakukan hubungan sex dengannya pada siang hari ketika suaminya tidak di rumah. Papan yang menyekat kamarku dengan kamarnya telah kulonggarkan pakunya, sehingga 2 buah papan penyekat dapat kucopot dan pasang kembali dengan mudah. Kami menyebutnya "Pintu Cinta", karena untuk masuk ke kamarnya aku sering melalui lubang papan tersebut. Mbak Dwi kini tahu bahwa aku sering mengintip ke kamarnya, bahkan ketika dia melayani suaminya, dan kelihatannya dia tidak keberatan. Dan entah kenapa, aku pun tidak pernah cemburu, bahkan selalu terangsang jika mengintip Mbak Dwi sedang disetubuhi oleh suaminya.
Siang hari jika aku tidak ada kuliah, dan Mbak Dwi sendirian di rumah, aku sering menerobos melalui "Pintu Cinta" untuk menyalurkan birahiku sekaligus birahinya yang tidak pernah dia dapatkan dari suaminya. Tetapi sejak saat itu pulalah hubungannya dengan suaminya tambah mesra, jarang marah-marah, sering pula kulihat dia memijat suaminya mejelang tidur. Pelayanan sex-nya kepada suaminya juga tidak berkurang (dia melakukannya rata-rata dua kali satu minggu), tidak jarang pula suaminya hanya dilayani dengan oral sex.
Yang mebuatku bingung adalah jika Mbak Dwi mengulum dan mengurut-urut penis suaminya, suaminya mampu bertahan cukup lama, tetapi kalau dimasukkan ke vagina hanya mampu 5 sampai 10 kocokan, kemudian sudah tidak tahan. Biasanya, jika telah selesai melakukan tugasnya dan suaminya sudah pulas, Mbak Dwi akan mengeser tidurnya ke arah dinding yang menempel ke kamarku. Dengan posisi miring setengah telungkup, tangannya menyusup melalui kelambu dan "Pintu Cinta" yang sudah kubuka. Dia akan mencari paha dan kemaluanku, dan tanganku pun akan menyelusup ke arah selangkangannya untuk menuntaskan birahinya yang tidak pernah dicapainya dengan suaminya. Setelah itu kami saling mengocok kemaluan kami sampai masing-masing orgasme. Petting di samping suaminya yang tidur sungguh menegangkan, tetapi nikmat sekali.
Bahkan pernah suatu malam, dimana suaminya tertidur pulas, kami melakukan persetubuhan yang sangat unik. Setelah saling meraba melalui lubang cinta, Mbak Dwi memasukkan separuh tubuhnya bagian bawah melalui kelambu dan lubang cinta ke kasurku, sedangkan pinggang ke atas masih tetap di kamarnya bersebelahan dengan suaminya yang masih mendengkur. Sebenarnya aku sangat kuatir kalau ketahuan suaminya, tetapi karena nafsuku juga sudah tinggi, melihat vagina yang merekah dan berlendir aku tidak tahan untuk tidak menjilatnya dan menyedot-nyedot kemaluannya.
Ketika nafsuku tidak terkendali dan berniat untuk memasukkan penisku yang sudah mengeras sejak tadi ke lubang vaginanya, aku mengalami kesulitan posisi. Maka tidak ada jalan lain, kutarik tubuhnya makin ke dalam dan kuganjal pantatnya dengan bantal. Walaupun buah dadanya dan kepalanya masih di kamarnya, tetapi seluruh pinggangnya yang masih terbalut baju tidur sudah masuk ke kamarku, pahanya mengangkang lebar-lebar. Maka dengan setengah berjongkok, kumasukkan kemaluanku ke arah bawah. Memang ada sensasi lain. Jepitannya semakin kencang, dan klitorisnya terlihat jelas dari sudut pandangku.
Aku mengocoknya pelan-pelan, karena aku menjaga untuk tidak membuat bunyi apapun. Sambil kukocok vaginanya yang menjepit terus menerus itu, kuelus-elus klitorisnya dengan ibu jariku. Pada saat Mbak Dwi mengalami orgasme yang pertama, ternyata aku masih separuh perjalanan. Kubiarkan kemaluanku tetap di lubangnya ketika pinggulnya diangkat ke atas tinggi-tinggi saat menikmati orgasmenya, kedua pahanya menjepit keras pinggangku. Setelah kubiarkan istirahat sejenak, kembali kukocok vaginanya serta kuputar-putar klitorisnya dengan jempolku. Dan kulihat pinggulnya berputar semakin liar, aku segera tahu bahwa Mbak Dwi akan segera oegasme yang kedua.
Kutekan kemaluanku ke dalam liang sanggamanya, dan kupercepat putaran jempolku ke klitorisnya, sampai kurasakan tangannya mencengkeram pahaku. Biasanya pada saat orgasme aku mendengar rintihan dan melihat wajahnya menegang, tapi kali ini aku tidak mendengar dan melihat wajahnya. Kucabut penisku yang masih mengeras dan bersimbah lendirnya, segera kukocok dengan tangan kananku, kira-kira lima centi di atas lubangnya, dan akhirnya.., aku tidak dapat menahan kenikmatan. Kusemprotkan seluruh spermaku ke lubang vaginannya yang masih menganga. Mbak Dwi segera menarik tubuhnya masuk ke kamarnya, sedang aku menutup kembali papan yang terbuka. Sebuah permainan sex yang berbahaya dan menegangkan namun penuh nikmat dan tidak terlupakan.
Sejak saat itu, kami tidak pernah berani melakukannya lagi permainan sex di samping suaminya yang masih tidur, walaupun permainan dengan tangan tetap dilakukan. Apalagi sex di siang hari, masih rutin kami lakukan.
*****
Sudah dua minggu ibunya Mbak Dwi yang tinggal di kota lain menginap di keluarga itu. Umurnya kutaksir sekitar 45 tahun, kulitnya putih seperti anaknya, tubuhnya sudah tidak langsing, tapi masih padat dan mulus, terutama paha dan pinggulnya sungguh menggiurkan untuk lelaki normal. Aku biasa memanggilnya Bu Ar, dan aku sering mengobrol dengannya dengan bahasa Jawa yang sangat santun, seperti kebanyakan orang Jawa berbicara kepada orang yang lebih tua. Di rumah dia selalu menggunakan daster tanpa lengan, sehingga pangkal lengannya yang mulus sering menjadi curian pandanganku. Kehadirannya ini tentu mengganggu hubunganku dengan Mbak Dwi, karena kami tidak dapat bebas lagi bercinta.
Sejak kedatangannya, kami hanya melakukannya sekali ketika dia sedang pergi ke warung, itu pun kami lakukan dengan terburu-buru. Suatu minggu pagi, Mbak Dwi dan suaminya terlihat pergi berbonceng motor, dan ibunya sendirian di rumah. Karena kulihat koran minggu tergeletak di meja ruang tamunya, dengan terlebih dulu minta ijin aku masuk ruang tamunya untuk ikut membaca di ruang tamunya. Tidak berapa lama, ibunya keluar membawa secangkir kopi dan singkong rebus.
"Nak Ton, ini Ibu bikin singkong rebus, dicobain..!" sambil meletakan cangkir dia duduk di depanku.
"Terima kasih Bu..,"
"Anak muda koq hari minggu tidak ngelencer kemana-mana..?"
"Ah enggak Bu, badan saya lagi kurang sehat, mungkin masuk angin, saya mau istirahat saja di rumah." jawabku.
"Mau Ibu kerokin supaya agak ringan..?" dia menawarkan jasanya.
"Terima kasih Bu, saya nggak biasa kerokan."
"Kalau gitu diurut saja, masuk angin nggak boleh didiamkan. Nanti setelah diurut, Ibu bikinkan minuman jahe." nadanya memerintah.
Karena tidak enak menolaknya, aku pun mengikuti dia masuk ke dalam rumah.
"Situ di kamar saja nak Ton, dan kaosnya dicopot, Ibu mau menyiapkan minyaknya dulu..!"
Aku masuk ke kamar yang ditunjuknya, melepas T-shirtku, dan dengan hanya mengenakan celana training, aku telungkup di kasur.
"Celananya diganti sarung saja nak Ton, supaya mudah ngurut kakinya..!" dia masuk kamar sambil membawa mangkuk berisi minyak sambil menyerahkan sarung dari lemari.
Kuganti trainingku dengan sarung dengan extra hati-hati, karena kebiasaanku kalau di rumah memakai training, aku tidak pernah memakai celana dalam.
Dia mulai mengurut kakiku, pijatannya sangat keras, sehingga kadang aku harus meringis karena menahan kesakitan. Dalam mengurut bagian ini, kakiku ditumpangkan di atas pahanya, sehingga gesekan kaki dengan pahanya yang tertutup oleh daster menimbulkan kenyamanan tersendiri. Bahkan ujung jari kakiku menyentuh perutnya, aku tidak bereaksi, karena dianggap kurang ajar.
Bersambung :