"Silahkan masuk kak, pintunya tidak terkunci kok" teriak Sri dari dalam rumah setelah aku mengetuk pintu rumahnya.
Ia seolah menunggu dan lebih dahulu melihat kedatanganku.
"Selamat sore Sri" ucapanku setelah kubuka pintu rumahnya.
"Silahkan duduk kak, tidak usah malu-malu. Saya hanya sendirian kok" kata Sri setelah aku berdiri di ruang tamunya seolah ia sengaja agar aku tidak segan-segan bertindak dan berbicara dengannya.
"Ke mana semua keluarga Sri? Kok kamu berani sendirian di rumah?" tanya aku ketika sedang duduk di kursi sofanya yang empuk itu.
"Mereka semua jenguk nenek yang sedang sakit di kampung kak," katanya.
"Tapi adik Sri memang terbiasa ditinggal sendirian di rumah?" tanyaku.
"Wah itu soal biasa kak. Khan nggak ada yang ditakutkan sebab di sini cukup aman, lagi pula di lingkungan ini cukup ramai" jawabnya lagi.
Setelah aku berbincang panjang lebar soal umum dan soal pribadi Sri serta keluarganya sambil menikmati hidangan kue yang sejak tadi menunggu di atas meja, Sri lalu memandangku dengan tajam, lalu mekangkah ke dekat pintu dan menguncinya rapat-rapat. Aku hanya terdiam sambil memperhatikannya. Dalam hati kecilku bertanya ada maksud apa Sri memanggilku ke rumahnya setelah kedua orangtua dan keluarga lainnya di rumah itu sedang tidak ada. Jangan-jangan ia menipuku atau ingin melanjutkan peristiwa singkat dalam kamar kerjaku minggu lalu itu.
"Kak, kita ke atas yuk, di sini nggak aman dan bebas kok, sebab sedikit-sedikit ada tamu yang datang jika mereka ketahui ada orang di dalam rumah. Maklum bapak khan pengusaha yang luas jaringannya" kata Sri lembut sekali setelah menutup pintu dan mencabut kabel telpon rumahnya dari pesawatnya.
Ia segera menarik tanganku dan menuntunku ke lantai atas rumahnya di mana kamar belajarnya berada. Aku hanya menuruti apa yang dimintanya, lagi pula aku senang dan gembira mau terima uang dari Sri, yah syukur-syukur jika ia bersedia memberi bonus khusus buatku.
Setelah aku dipersilahkan duduk di kursi yang ada dalam kamarnya, Sri lalu duduk di atas rosbannya yang cukup rapi dan tertata dengan seprei berwarna biru yang dihiasi sulaman kembang berwarna kuning emas. Baunya yang harum menyengat ke hidungku hingga aku terpesona dan sedikit menikmati suasana damai, tenang dan bahagia dalam ruangan itu seolah mengingatkanku di malam pertama ketika aku masih pengantin baru.
Sore itu aku hanya termangu memperhatikan suasana yang ada dalam kamarnya tanpa aku banyak bicara. Sesekali memperhatikan tubuh Sri yang terbungkus baju warna putih dengan celana kain setengah panjang yang agak tipis namun indah dan bersih sekali lagi harumnya yang tidak mau hilang di hidungku. Aku sangat berat, segan dan malu diperlakukan seperti raja oleh Sri, apalagi selaku orang yang punya istri, tentu takut bertingkah macam-macam di depan Sri yang serba istimewa.
"Sri, aku tidak bisa lagi menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini berada dalam kamar bidadari. Sungguh aku mempunyai keberuntungan luar biasa bisa kenalan dan berhubungan dengan adik. Aku diperlakukan seperti raja diraja. Aku sangat menyesal kawin terlalu cepat" ucapanku mengagumi segala apa yang kurasakan saat itu.
Mendengar ucapanku itu, Sri hanya menatapku tajam sambil tersenyum sesekali pandangannya turun ke arah selangkanganku. Aku bisa membaca maksiud isi hatinya, tapi aku tetap pura-pura bersikap pasif. Sri seolah tidak memperlihatkan rasa malu, segan dan takut lagi di depan saya setelah ia mengetahui kebejatan moral saya. Bahkan nampak ia lebih berani dan lebih aktif di depanku.
"Kak, aku tidak pernah menyangka bisa menikmati hubungan sex bersama dengan orang yang selama ini kukagumi. Aku sebenarnya bahagia tapi sekaligus menyesal karena kehormatan dan keperawananku terpaksa kuserahkan dan dinikmati oleh suami orang lain yang tidak mungkin bisa kumiliki sepenuhnya. Padahal pria yang kusayangi selama ini berkali-kali mendesak dan meminta tapi aku tetap mempertahankannya dengan alasan melanggar norma-norma agama, nanti setelah nikah dan berbagai macam alasan lainnya. Kenapa ini terjadi kak dan kenapa bukan pada saat kak masih bebas menentukan pilihan? Kenapa kak, kenapa dan kenapa..." tiba-tiba Sri berbicara terbuka, panjang lebar dan penuh dengan kesedihan.
Dengan suara tangis terisak-isak yang ditandai air mata membasahi pipinya, aku yakin Sri sangat menyesal dan tidak mampu menolak keinginan bejatku ketika aku menunjukkan bukti perselingkuhan di kamarku ketika itu. Ia berkali-kali berteriak mempertanyakan nasibnya sambil memeluk dan mencium pipiku sehingga bahu dan pipiku juga ikut basah oleh air matanya.
"Sri, aku mohon maaf dik sayang. Aku khilaf ketika itu dan aku terlalu bernafsu melihat kecantikanmu. Apalagi sikap kelemah lembutanmu di depanku membuatku terangsang, karena hal seperti sulit kudapatkan dari istriku yang sedikit keras dan kasar sikapnya. Sekali lagi maaf dik, aku juga ikut menyesali sikapku yang kurang ajar dan kurang mengerti diri. Maukah kamu memaafkan kesalahanku sayang...?" kataku menyampaikan rasa penyesalanku sambil mengelus rambut dan pipinya yang masih bersandar ke bahuku.
Cukup lama kami saling merangkul. Namun di sela-sela rangkulan itu, kami seolah tersengat seteron listrik. Kami bukan menyesali dan menghindari terulangnya peristiwa itu, malah kami saling berpagutan tanpa kuketahui siapa yang memulai. Sri lahap sekali mencium dan mengisap bibir dan lidahku. Akupun memberikan sambutan yang sama. Tangan kami saling bergerak lincah menggerayangi tubuh masing-masing secara berlawanan. Kali ini, sedikitpun tidak ada rasa malu, ragu dan takut ada orang lain yang mengetahuinya, sebab pintu rumah Sri terkunci rapatb dan kamipun berada di lantai atas sehingga suara kami sulit terdengar oleh orang lain sekalipun kami berteriak keras.
Meskipun aku sedikit sadar dan mengingat apa yang baru kami sesali, namun aku sengaja tidak mau mengingatkan Sri, sebab aku lagi senang dan juga hal seperti ini sudah terlanjur kami lakukan. Tanpa kusadari, Sri sudah membuka kancing bajuku dan melepaskan dari tubuhku. Ia menyerang sangat lincah dan seolah lupa segalanya. Ia menyapu seluruh tubuhku dengan ciuman dan jilatan, mulai dari wajah, dagu, leher, bibir dan mulut hingga ke pusar. Tangannya sangat aktif merangkul dan meraba-raba tubuhku hingga masuk ke selangkanganku dari atas ke dalam celanaku. Akupun tidak mampu menahan tangan yang sejak tadi bergerak-gerak ingin memegang benda-benda kenyal dan langkah ditemukan di pasaran yang ada pada tubuh Sri. Meremas-remas kedua payudara Sri yang masih keras dan ukuran sangat sederhana, membuka kancing baju dan BH serta mengelus-elus kelentit Sri yang mungil lagi keras adalah menjadi aktifitas khusus kedua tangan saya tanpa komando dari siapa-siapa. Semua ini kami lakukan dalam keadaan berdiri di depan tempat tidur Sri.
"Kak, cepat kak. Aku sudah tak tahan lagi. Ayo Kak cepat," bisik Sri berkali-kali di dekat telingaku.
Nafasnya terasa hangat sekali dipipiku.
"Sabar sayang, aku akan memberikan kenikmatan luar biasa hari ini. Kali ini kita bebas, aman dan tak ada gangguan sedikitpun untuk menikmati segalanya. Sabar sayang... Aku pasti memuaskanmu" bisikku sambil melonggarkan ikat pinggangku agar Sri mudah memasukkan tangannya.
Sri nampaknya tidak sabar lagi. Ia kali ini menurunkan celanaku lalu menarikku naik ke atas tempat tidur setelah aku betul-betul telanjang bulat. Aku turuti saja kemauannya, bahkan setelah ia duduk di pinggir tempat tidur, aku segera menarik celananya turun hingga terlepas semua dari tubuhnya. Kini kami berpelukan dalam keadaan bugil tanpa sehelai kainpun di tubuh kami. Aku merebahkan tubuhnya ke atas kasur dengan kedua kaki tetap tergantung namun kedua pahanya agak terbuka, sehingga terlihat dengan jelas vaginanya yang basah, bersih dan agak montok, bahkan biji yang tumbuh di sela-sela lubang kemaluannya itu nampak menantang dan indah.
"Ayo kak, masukkan cepat kak. Aku ingin sekali menikmati burungmu itu. Aku sangat ketagihan. Cepat kak, ayo kak," kembali Sri meminta aku memasukkan penisku ke dalam kemaluannya yang sudah basah dan sedikit terbuka itu.
Berkali-kali ia memintaku dengan nafas terengah-engah seolah sesak. Bahkan kali ini ia meraih penisku dan menuntun ke arah memeknya, tapi aku tetap menahannya dan mermbiarkan ia semakin penasaran agar kami bisa bermain lebih lama di kamarnya. Berkali-kali pintu rumahnya terdengar diketuk-ketuk orang, tapi Sri tetap tidak peduli. Ia yakin kalau itu hanya tamu bapaknya, sementara bapaknya besok baru pulang karena baru tadi siang berangkatnya. Ia konsentrasikan dirinya pada kenikmatan yang ia harapkan segera kuberikan. Setelah aku puas memainkan lidah, bibir dan mulutku pada seluruh tubuhnya, terutama pada rongga mulut, payudara dan rongga kemaluannya, lalu secara pelan-pelan ujung penisku menyentuh bibir vaginanya, sehingga pinggulnya terangkat-angkat secara otomatis dan sesekali merangkul pinggulku dan menariknya turun, namun tetap kupertahankan untuk tidak terburu-buru.
Karena lincahnya menggerakkan dan memutar pinggulnya kiri kanan, maka pertemuan kedua benda asing itupun sulit dihindari. Bahkan secara tidak sengaja kepala penisku masuk dan nempel ke lubang vaginanya bagaikan ditarik oleh sebuah magnit. Akupun rasanya sulit lagi memancing dan menarik keluar, sehingga perlahan tapi pasti ujung penisku menyelusup masuk sedikit demi sedikit hingga amblas seluruhnya. Gerakan refleks pinggul kami secara otomatis berputar dan maju mundur mengikuti aliran kenikmatan yang kami rasakan masing-masing. Suara desiran dan lenguhan dari mulut kami berdua tidak bisa lagi tertahankan sebagai pertanda kami mengalami kenikmatan yang tiada taranya.
"Auh... Uuuhhh... Sssttt... Aduhhh... Aakhh..." suara itulah yang senantiasa mewarnai kesunyian dalam ruangan itu. Untungnya suara kami tidak dapat terdengar oleh tetangga Sri, sehingga keluar secara bebas mengikuti alur kenikmatan tanpa kami mengontrolnya.
"Kak, aku nikmat sekali. Gocok terus kak. Jangan berhenti, aduhhh... Ahkhkh... Uhhh... Mmmhhh" ucapan Sri ketika aku semakin mempercepat gerakan pinggulku dan sesekali berhenti sejenak karena capek.
Namun, gerakan maju mundur sulit sekali kami lakukan karena kedua kaki Sri melingkar kepunggungku dengan eratnya, sehingga aku hanya mampu memutar kiri kanan. Tangan Sri terus merambah ke seluruh tubuhku, bahkan terkadang menjambak rambutku. Sementara tanganku juga bergerak terus mencari sasaran yang lebih nikmat. Kadang meremas-remas kedua payudara Sri dengan kerasnya dengan maksud agar Sri mau menurunkan kedua kakinya yang melingkar, tapi tetap saja seolah sudah diikat.
"Kak, rasanya aku mau keluar. Aku tak mampu menahan lagi. Biar yah kak? aaahhh... Ukhhh... Iiihhh... Mmmhhh... Aaakhh" kata Sri dengan suara seolah tidak ditahan-tahan lagi.
Aku hanya mengangguk sebagai tanda persetujuanku. Ia sedikit berteriak ketika aku berusaha mendorong keras penisku sehingga terasa menyentuh benjolan daging dalam rahimnya. Bersamaan dengan gerakan cepat dan kerasku itu, sekujur tubuh Sri terasa gemetar. Tangannya dengan keras menjambak rambutku serta mencakar-cakar punggungku. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena saat itu pula kurasakan ada cairan hangat menyelimuti seluruh batang penisku, lalu ia melepaskan jepitan kedua kakinya di punggungku dan jatuh dengan lemas ke lantai bersamaan dengan melemasnya seluruh tubuhnya. Aku kira ia pingsan, tapi setelah kurasakan nafas dan detak jantungnya yang keras, aku yakin kalau ia hanya capek dan setengah sadar akibat kenikmatan.
Bersambung :